Minggu, 26 September 2021

Opini Cerpen: Setelah Para Tetua Pergi

Sobat Gembira sering nggak membaca sebuah cerpen? 

Kalau Sobat golongan Gen Z, aku tebak sih pasti jarang karena lebih sering baca novel. Iya kan? Apalagi sekarang sudah banyak platform baca lewat gawai, seperti Wattpad, Gramedia Digital, Rakata dan lainnya yang mudah banget buat diakses. 

Nah selain itu pasti hampir setiap malam sebelum tidur baca AU dulu di X? Hayo ngaku kalian pasti suka halu ke bias 'kan!🫵🏼

Sekarang kebiasaan membaca sudah berubah ya Sobat. Perkembangan zaman ini mempelihatkan adanya peralihan hobi membaca ke suatu jenis sastra yang lebih terkini. Kalau zamanku pas SD-SMP dulu masih banyak kok yang suka baca cerpen, apalagi kalau dari majalah Bobo, favorite banget. 

Eh ini bukan artinya sekarang sudah nggak ada yang membaca cerpen ya Sobat. Maksudnya, lebih jarang saja, apalagi Gen Z dan Gen Alpha. 

Mungkin salah satu faktor penyebabnya karena tipe cerpen tuh tulisannya singkat (sesuai namanya cerita pendek). Nah sebab singkat ini membuat penulis berlomba-lomba menciptakan cerpen dengan diksi dan sastra yang mendalam. Terkandung makna tersirat yang harus dipikir berkali-kali dulu buat memahaminya. 

Sedangkan jargon Gen Z, "baca buat healing, bukan butuh healing setelah baca" alias males capek mikir pas baca.  Sobat Gembira gitu juga nggak? 

Nah kali ini aku bakal beropini mengenai suatu cerpen, dalam rangka menegaskan aku masih bisa diuji untuk menghayati cerpen xixi. Juga sekalian mengerjakan tugas opini cerpen, tantangan minggu keempat dari ODOP.

Opininya murni berasal dari perspektif pribadi ya Sobat. Mungkin kurang begitu mendalam dan kritis, jadi tolong maklumi kalau banyak kesalahan nantinya.

Judul: Setelah Tetua Pergi

Penulis: Achmad Ikhtiar

Cerpen: Setelah Tertua Pergi
Sebelum membaca opini, ada baiknya Sobat Gembira membaca cerpennya terlebih dahulu. Biar nggak ter-spoiler-kan hehe. Cerpennya bisa dibaca di sini ya ....

Opini: 

Cerpen ini berlatarkan di sebuah rumah yang diisi sekian banyak orang sehingga digambarkan ramai dan penuh. Di tengah-tengah ruangan ini, terdapat lelaki berbadan tambun dengan berwajah jenaka yang di sekelilingnya terdapat meja-meja. Para tetua yang diceritakan di cerpen digambarkan sebagai orang yang sangat diagungkan, setiap titah perintahnya dituruti oleh orang-orang yang ada di sana.

Awal membaca, aku kira ini cerpen biasa karena dialog mereka pun layaknya percakapan biasa. Dimulai dengan salah satu orang menawari si Tambun Berwajah Jenaka sebuah cerutu, tapi ia menolak. Mulanya aku berpikir mungkin si Tambun itu menolak tawaran karena nggak berselera menikmati cerutu ketika keadaan sedang rumit dan menyudutkannya seperti ini. Ataukah ia baru saja bertaubat karena tersadar bahaya dari sesuatu yang kadar nikotinnya tinggi? Apakah keadaan itu yang memaksanya bertaubat?

Lalu aku kembali membaca dengan kepala penuh menebak dan menerka-nerka, jalan cerita cerpen ini seperti apa? Bagaimana poinnya? 

Ketika sampai di dialog salah satu tetua yang mengatakan di buku nubuat yang sudah mereka tulis, waktunya hampir datang, aku semakin menerka dan mencoba menghubungkannya dengan poin-poin yang berseliweran di kepalaku. Semakin membaca ke bawah, aku tambah yakin dengan poin-poin dugaanku dan merasa sedikit paham dengan poin dari cerpen ini (mungkin?).

Waktunya hampir datang, yaitu ambang kehancuran atau kiamat sudah dekat. 

Ketika tetua menyuruh pelayan mendekat untuk membagikan anggur dan pelayan itu patuh membagikannya hingga penuh bahkan sampai tumpah, tapi tak seorang pun yang menghentikannya. Dari sana aku mendapat gambaran tentang alam dan lingkungan yang membagikan kekayaannya kepada manusia bahkan sampai berlebih, namun tidak ada satupun yang merasa cukup dan masih saja terus mengeksploitasinya secara besar-besaran. Sedangkan manusia lainnya tak ada yang berani menghentikan ataupun sekadar mengingatkan.

“Kita semua tahu, tempat yang kita pijak sekarang ini, tempat yang kita anggap sebagai rumah ini tidak akan mampu mencukupi kebutuhan kita semua jika jumlah kita terus bertambah secepat sekarang.” Dari dialog tersebut aku menangkap bahwa tempat yang dipijak adalah bumi. Dijelaskan bahwa bumi mampu mencukupi segala kebutuhan manusia tapi jika populasi manusia semakin cepat bertambah seperti sekarang, bumi tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dan keserakahan manusia. 

Lalu ketika salah satu dari tetua melarang semua orang menyebutkan nama Tuhan di rumah itu, karena katanya tidak pantas menyebut entitas tertinggi di ruangan mereka berada itu. "Kita hanyalah pesuruh-Nya yang bertugas menjalankan tugas-tugas kita sejak awal rumah ini dibangun." Aku menangkap bahwa kita manusia adalah pesuruh Tuhan untuk mengemban tugas-tugas sejak awal mula alam dan jagat raya ini diciptakan. Namun, kita manusia tidak pantas menyebut nama-Nya di berbagai keegoisan, keserakahan dan kehancuran yang telah kita perbuat. 

Ketika tetua agung menyuruh seluruh orang di dalam rumah itu untuk menanggalkan pakaian, menyirami dan memberi pupuk ke pohon serta kembali ke rumah, memeluk anak-anak dan lebih sering memuji Tuhan. Menurutku, pakaian itu menggambarkan sebagai segala keserakahan, ketamakan, keegoisan, dan sifat buruk manusia. Ditanggalkan dan dikuburkan dengan maksud semua kebiasaan dan hal buruk manusia itu sudah hilang terpendam. 

Menyirami pohon dan memberi pupuk dengan maksud karena pohon merupakan salah satu peranan yang sangat penting bagi manusia, sekaligus bermaksa untuk menjaga dan melestarikan alam. Peluklah anak-anak menggambarkan untuk melindungi generasi kita selanjutnya sehingga mereka di esok hari dapat menikmati indahnya alam dan bumi.

Menilik ke atas mengenai cerutu, aku menangkap bahwa asap dari cerutu itu menggambarkan polusi-polusi yang diciptakan manusia sedangkan cerutu itu sendiri adalah alat yang menciptakan polusi. Sedangkan si Tambun Berwajah Jenaka itu, aku agak ragu, mungkinkah ia koruptor atau politikus rakus? Sebab, di bagian ia menolak cerutu dan anggur padahal dahulunya ia sangat menyukainya, ia seperti pelaku tindak kejahatan yang mengakui kesalahannya dan tidak mau mengulanginya lagi. 

Yaps, ini sedikit opiniku untuk cerpen ini. Bagaimana Sobat Gembira masih bisa diujikan kemampuanku membaca cerpen? Xixi. 

Jika ingin mengoreksi dan menambahi tulisan ini sangat dipersilakan. Bisa langsung ketik di kolom komentar ya Sobat Gembira! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar